Heryanto Gani, SE., MH, Ketua Harian DPP Satria Borneo Raya (SABER) Indonesia. (foto:ist). |
Dia mendorong agar perusahaan tersebut berusaha di atas tanah milik masyarakat setempat, menggunakan tenaga kerja dari Kabupaten Sekadau, dan menghindari datangnya tenaga kerja dari luar untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Heryanto Gani, SE., MH, juga menyuarakan kekhawatirannya terkait dampak kerugian yang dialami masyarakat, seperti tidak mendapatkan Corporate Social Responsibility (CSR) yang seharusnya menjadi hak mereka untuk membangun fasilitas umum. Dia menduga ada beberapa perusahaan bekerja di luar izin lokasi dan HGU tanpa tindakan hukum, menyebabkan kerugian negara dan dugaan tindak pidana korupsi.
"Masyarakat sangat bingung dengan permohonan revisi melalui Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), yang didasarkan pada UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Yang menyoroti kurangnya dasar hukum mengenai revisi izin lokasi IUP dalam aturan terkait, khususnya dalam peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2021," Kata Heryanto Gani kepada Media ini. (Selasa 9/1/2024).
Heryanto Gani juga menyampaikan kebingungannya terkait penguasaan lahan yang sedang dalam sengketa, pembelian lahan dari luar Kalimantan Barat, dan tindakan pemetaan diam-diam.
Dia menekankan bahwa penerbitan izin berusaha tanpa mempertimbangkan masalah penguasaan lahan sepihak dapat dianggap tidak adil, dan menanyakan dasar hukum revisi melalui KKPR kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Dia mencatat bahwa izin KKPR tidak secara tegas membahas status lahan khusus untuk perkebunan, hanya fokus pada tanah untuk berusaha tanpa menjelaskan jenis usaha, terutama bangunan pabrik.
"Kita mempertanyakan mengapa Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkesan diam di tengah data masif mengenai penguasaan lahan yang tidak sesuai izin, " tanya Heryanto Gani.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran terkait konflik sengketa pertanahan dan penyalahgunaan dokumen kadaluarsa. Dia menekankan bahwa menangani sengketa konflik pertanahan bukanlah pekerjaan yang mudah. Permasalahan ini seperti benang panjang yang kusut, sulit ditelusuri dari mana dimulainya dan di mana berakhirnya.
"Penyebab dan akibatnya tercampur menjadi satu, dengan setiap pihak merasa benar dan Lebih rumit lagi, kepentingan pribadi oleh pihak yang memiliki kewenangan dalam penanganan sengketa dapat merubah fakta kebenaran," ungkapnya.
Ia mengungkapkan Kasus yang semula sederhana dapat berlarut-larut tanpa penyelesaian yang adil, seperti yang dialami oleh rumah tinggal masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Sekadau yang masuk HGU dan berjuang tanpa kepastian hukum.
"Melalui media ini, kami berharap agar Bapak Presiden dan semua pemangku kepentingan di Negara ini mendengar dan membaca. Jika perjuangan untuk keadilan tidak direspons, kami mengajak masyarakat untuk tidak takut membela hak-hak mereka, agar anak cucu kita tidak menjadi tamu di tanah kelahiran dan leluhur mereka di Bumi Lawang Kuwari," tutupnya. (nv).